Jakarta, CNBC Indonesia – Sebagai investor, bulan Desember menjadi salah satu waktu yang ditunggu-tunggu karena masuk pada masa Window dressing. Istilah ini merujuk pada tindakan manajer investasi yang membeli atau menjual saham untuk meningkatkan performa portofolio sebelum laporan kepada klien.
Tujuan window dressing saham adalah membuat kinerja terlihat menjanjikan bagi manajer investasi dan mempercantik laporan keuangan bagi perusahaan atau emiten. Fenomena ini umumnya terjadi pada akhir tahun, terutama pada bulan Desember atau awal tahun seperti Januari.
Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy menilai, window dressing tahun ini akan terjadi untuk saham yang banyak dipegang oleh investor institusi yang memegang saham-saham big caps. Tapi, window dressing kali ini diprediksi akan lebih meriah.
“Untuk tahun ini lebih meriah karena ada emiten ya g juga berkepentingan untuk menjaga harga sahamnya. Misalnya, Grup Barito dan beberapa grup lainnya,” ungkap Budi kepada CNBC Indonesia, beberapa waktu lalu.
Sementara itu, Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan, fenomena window dressing ini sudah bisa dirasakan sejak November. Mengingat, pada November IHSG mengalami rebound dari Rp6.640 hingga sempat menyentuh ke level Rp7.000.
“Saya pikir ini adalah efek dari Widow Dressing yang telah terjadi sejak November ya kan, dan ini juga berbarengan dengan Santa Claus Rally. semestinya Desember bisa ditutup
di zona positif ya untuk IHSG,” kata Nafan.
Adapun terkait sektor saham yang prospektif di masa window dressing ini, Nafan menyarankan untuk memperhatikan sektor infrastructure, financials dan teknologi. Sementara yang bisa masuk pada daftar watch list adalah properti, dan consumer cyclicals.
“Bisa cermati BBCA, BBRI, BMRI dan BBNI. Kalau infrastructure bisa cermati TLKM dan ISAT. Kalau cyclicals bisa diamati AMRT,” paparnya.
Sementara itu, Kepala Riset Praus Capital Marolop Alfred Nainggolan menilai, saham-saham yang dipilih dalam memanfaatkan momentum windows dressing adalah saham-saham First Liner yang banyak mengisi portofolio investor institusi seperti disektor perbankan, Telco, Consumer.
“Apalagi saham-saham tersebut punya year to date (YtD) negatif atau berada dibawah performa Indeks (IHSG),” ujar Alfred ketika dihubungi CNBC beberapa waktu lalu.
Untuk perbankan, Alfred cenderung menyarankan untuk menghindari jajaran First Liner karena angka year to datenya sudah positif, sehingga potensi kenaikannya tidak terlalu besar. untuk perbankan bisa memperhatikan Second Linernya seperti BBTN dimana masih mengalami penurunan -8,61% ytd.
Sementara di sektor konsumer, Alfred merinci ada saham ada INDF yang masih terkoreksi 7,38%, MYOR -7,23% dan GOOD -18,82% sejak awal tahun (ytd). Sementara di sektor telekomunikasi ada EXCL yang masih terkoreksi 12,67%. https://cerahkanla.com/